Cinta Yang Terluka

Seorang gadis kecil, Melati, duduk di ruang tamu rumahnya dengan kaki terjuntai. Ia melirik ke arah jalan raya di depan rumahnya. Ia turun dari kursinya dan berlari keluar dengan kaki kecilnya dan berharap orang yang dinantinya muncul. Belum muncul. Melati masuk lagi. Keluar lagi. Belum ada. Masuk lagi. Keluar lagi. Hampir satu jam ia menanti, tetapi belum tiba juga orang yang dinantinya.

Bi Inem, pengasuhnya, berulang kali menyuruhnya makan, tetapi tidak digubrisnya. Pukul 18:00, terdengar suara, “Tiiinn … tiiiinnnnn!!!”

Melati kecil kegirangan dan melompat sambil menari-nari. Ia berseru, “Mama pulang….papa pulang.!!” Ia menghamburkan diri ke arah dua orang yang sangat dicintainya, tetapi kedua orang yang dinantinya itu terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Papanya langsung menuju kamar mandi dan mamanya menghembaskan dirinya di sofa melepas penat seharian untuk mencari nafkah.

Melati kecil belum mengerti banyak tentang situasi dan kondisinya. Ia menghampiri mamanya dengan penuh kerinduan setelah seharian tidak bertemu.

“Mama….mama….mama…mama….” Melati kecil menggerakkan tangan mamanya, tetapi mamanya diam seribu basa.

Melati kecil dengan cemas bertanya, “Mama sakit ya? Mana Mah yang sakit?” Mamanya  tidak menjawab. Mamanya hanya mengernyitkan alisnya sambil memejamkan matanya yang memang sudah sangat berat karena capai.

Melati makin cemas dan makin gencar bertanya, “Mama, mama … mana yang sakit? Melati ambilkan obat ya? Ya? Ya?

Tiba-tiba terdengar suara yang keras dan dengan nada yang tinggi.

“Melati!!!! Kepala mama lagi pusing! Kamu jangan berisik!”

Melati kecil terkejut dan ketakutan. Ia mundur perlahan-lahan, matanya menyipit dan kakinya gemetar. Ia bingung. Melati salah apa? Melati sayang mama …. Melati salah apa? Ia menyingkir di sudut ruangan sambil menangis terisak.

Otak kecil Melati terus bertanya-tanya: Mama…, Melati salah apa? Mama tidak suka dekat-dekat Melati? Melati mengganggu Mama? Melati tidak boleh sayang Mama?

Berbagai peristiwa sejenis terjadi. Otak kecil Melati pun merekam semuanya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Melati kecil telah tumbuh menjadi gadis remaja yang beranjak menuju dewasa. Ia telah bertambah tinggi dan besar.

Melati duduk santai di depan televise sambil makan kudapan yang ada.

“Tinnn.. Tiiiinnnnn…!! Mama pulang …. Papa pulang,” seru suara dari luar.

Melati segera menurunkan kaki dari meja. Mematikan Televisi. Buru-buru naik ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia menghilang dari pandangan.

“Melati mana?” Tanya mamanya kepada Bi Inem. Bi Inem menjawab, “Sudah makan duluan, Tuan, Nyonya.”

Malam itu mereka kembali hanya makan berdua. Dalam kesunyian yang ada mereka berpikir dengan hati yang terluka: “Mengapa anakku sendiri, yang kubesarkan dengan susah payah, dengan kerja keras, tidak suka menghabiskan waktu bersama-sama denganku? Apa salahku? Apa dosaku? Ah, anak zaman sekarang memang tidak tahu hormat dan terima kasih sama orangtua! Tidak seperti anak zaman dulu.”

Melati mengawasi kedua orangtua yang dicintainya dalam diam membeku, dari tempat di mana ia tidak terluka untuk menyatakan kasihnya. Dalam hatinya terungkap suatu tanya yang belum terjawab juga, “Mama, Papa, tolong beritahukan kepadaku bagaimana memeluk seekor landak tanpa terluka?”

Melati terus terdiam seribu bahasa di ruang atas, di kamarnya. Ia terus memerhatikan kedua orangtuanya. Rindu dalam hatinya ingin memeluk mereka, tetapi ia takut terluka.

Renungan / Refleksi

Kita sering kali terlalu mudah meluapkan emosi kita tanpa memperhitungkan dampaknya. Seseorang melampiaskan 99% emosinya justru kepada orang-orang yang paling dicintainya dan akibatnya sering kali fatal. Kita sering menemukan bagaimana emosi memberi dampak yang tidak kita inginkan. Bahkan, banyak emosi pada akhirnya menimbulkan dan meninggalkan dampak kehancuran yang tidak terlupakan. Andaikata kita memahami dengan benar “makhluk” apa sesungguhnya emosi kita ini, kita pasti akan bijaksana akan hal ini. Kita akan mengendalikan emosi kita, bukannya dikendalikan oleh emosi kita.

Emosi kita akan sangat menentukan bagaimana kita memahami dan mensikapi suatu kejadian. Sebuah emosi biasanya berangkat dari sebuah prasangka. Oleh karena itu, kita harus memiliki prasangka yang positif dan benar sehingga mampu menilai setiap kejadian secara bijaksana. Setiap pasangka yang kotor dan jahat akan membawa kita pada penilaian dan sikap yang tidak benar atas suatu kejadian. Oleh karena itu, rasul Paulus menasihati kita, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu (Flp. 4:8 ITB).

Mari kita belajar mengendalikan emosi kita sehingga emosi kita tidak merugikan diri kita sendiri dan menyakiti orang lain. Kita memahami setiap peristiwa dengan persepsi yang benar, bukan dengan perasaan kita semata. Kita melaupkan emosi kita secara benar dan tepat pada situasi yang benar dan tepat pula. Kita harus bijaksana dengan emosi yang Tuhan berikan kepada kita.

Sumber : Renungan Kristen Inspiratif





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Blessed Christmas Eve 2020 ..

.. Keep Calm & Stay Busy ...

#melawan ; Biasakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Kebiasaan

Facing The Giants

Happiness Is A CHOICE, Not A Result