Pilihlah Kehidupan Supaya Engkau Hidup, Baik Engkau Maupun Keturunanmu (Ul. 30 : 19B)
Pada kelas Indonesia Bernapas hari minggu yang lalu, ada seorang wanita muda (Mia) yang bertanya, “bagaimana caranya menghadapi kendala komunikasi yang kurang baik dengan orangtua (Ibunda) ?” .
Lebih lanjut Mia
bercerita bahwa ia pernah mengikuti kelas Self-Healing dari seorang praktisi,
dan ia ingin ikut sekali lagi dengan mengajak ibunda terkasih dengan tujuan
sama-sama bisa memperbaiki kembali hubungan antar mereka serta menyembuhkan trauma-trauma
/ luka batin masa lalu yang disebabkan oleh perkataan-perkataan buruk / kasar ibunda
kepada dirinya.
Sang Ibunda
berusia 77 tahun, dan bulan Mei 2021 yang lalu baru menyelesaikan tahapan
kemoterapi (8X) untuk kanker payudara. Sejak ayahanda meninggal tahun 2018, ibunda
hijrah dari Bangka Belitung untuk tinggal bersama Mia.
Sejak dulu komunikasi yang terjalin dengan ibunda kerap kali berakhir dengan pertengkaran / cekcok mulut karena sama2 mempertahankan pendapatnya masing-masing, dan merembet ke hal2 masa lalu.
Penjelasan yang disampaikan oleh instruktur yogaku sekaligus penyelenggara kelas Indonesia Bernapas yang rutin aku ikuti ini cukup baik dan masuk akal .. (menurutku yahhh) ...
Setiap orang pasti pernah merasakan sedih, marah, kecewa yang disebabkan oleh perkataan atau perilaku orang lain dan memberikan / meninggalkan luka pada batin pada diri kita.
Terkadang, sulit meluapkan perasaan tersebut dan akhirnya hanya dipendam
/ disimpan dalam hati saja.
Padahal emosi
negatif yang menumpuk ini bisa menjadi bom waktu yang kemudian akan merugikan
diri sendiri. Oleh karena itu banyak orang merasa perlu mengikuti kelas2 self-healing guna melepaskan luka-luka batin tersebut.
Namun
memaksakan orang lain untuk mengikuti keinginan / kemauan kita mengikuti kelas self-healing juga bukan cara yang benar.
“Mengapa memaksakan diri agar orang lain ikut
kelas self-healing yang kita ikuti, sementara kita sendiri pun belum sepenuhnya
pulih dari luka batin / trauma-trauma masa lalu ?, kita tidak bisa memaksakan
diri agar orang lain mengikuti keinginan kita untuk berubah, sementara kita
kita sendiri still on process untuk berubah, (a.k.a) masih ada menyimpan
kemarahan / kekecewaan / kepahitan dengan orang lain” .
Mengingat usia
Ibunda yang sudah lanjut, alih2 meminta Ibunda untuk berubah dan meminta maaf
atas kesalahan yang pernah dilakukan, mengapa tidak kita sendiri yang belajar
untuk melepaskan / let it go kesalahan masa lalu yang dilakukan oleh ibunda
terkasih, itulah self-healing yang sesungguhnya.
Selama masih kemarahan
/ kekecewaan / kepahitan dan energy negative lain terhadap sang ibunda, artinya
pembelajaran self-healing yang Mia ikuti belum mencapai tujuan / sasaran, yaitu
sembuhnya diri kita / pribadi kita sendiri.
Self-Healing,
dapat dikatakan sebagai proses penyembuhan luka batin atau mental yang
dilakukan secara mandiri untuk diri kita sendiri. Maksudnya secara sadar mengambil keputusan
untuk melepaskan pengampunan dan memaafkan diri / orang lain, menerima
kenyataan tanpa ada penolakan atau penghakiman dan melupakan sepenuhnya.
Ibarat kunci
pada sebuah pintu. Diri kita adalah pemegang kuncinya. Tidak ada seorangpun
yang bisa masuk, kecuali kita yang membuka kunci tersebut dari dalam (diri).
Sama halnya
dengan komunikasi dua arah yang dilakukan Mia & Ibunda. Kunci /
kendalinya adalah dari cara (diri) kita menanggapi / meresponinya. Apakah
dengan suara / intonasi yang sama2 keras atau dengan lemah lembut selayaknya anak
terhadap orangtua ?
Pengalaman masa
kecil (termasuk childhood trauma) memang turut mempengaruhi kepribadian seseorang,
namun demikian 100% masa depan seseorang ditentukan oleh keputusan-keputusannya sendiri.
pada
sebuah cermin, tampak wajah tersenyum bila kita tersenyum ; demikian pula
kehidupan yang baik akan berpihak pada kita apabila kita memilihnya.
Komentar
Posting Komentar