#melawan ; Biasakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Kebiasaan
Beberapa bulan lalu aku mengajarkan kepada ponakanku yang perempuan untuk lebih baik dan rapi dalam urusan kamar tidurnya. Bukan hal yang mudah, mengingat usianya sekarang ini berada dalam masa transisi ke remaja. Masa dimana (menurut aku), mereka lebih mendengarkan pendapat temannya, masa dimana ngeyelnya luar biasa, masa dengan seribu satu alasan sebagai pembenaran.
Tempat tidur berantakan, pakaian
kotor dimana-mana, kertas-kertas tugas sekolah berserakan dilantai, lemari
pakaian acak-acakan sudah menjadi pemandangan setiap hari, ditambah lagi piring habis makan,
gelas dan botol minuman di kolong tempat tidur, tidak jarang ditemukan juga bungkus cemilan / permen karet
diantara buku diatas meja belajar .. hadeuhhhh …
Kalau habis ditegur, biasanya
selalu bilang, “iya sebentar lagi aku
bereskan”, tapi seringnya tidak ada yang dilakukan. Seringnya sibuk cek WA
yang masuk, stalking instragram, nonton drama korea. Tanpa terasa sudah lewat waktu
berjam-jam, tapi kamar tetap tidak dibereskan sampai hari berikutnya.
Suatu hari akhirnya aku ajak
dia ngobrol-ngobrol, enaknya dan maunya bagaimana supaya jadi sedikit lebih
baik. Mamanya pernah bilang, “de, kalau
kamar sendiri aja kamu gabisa tata dengan baik, bagaimana masa depanmu akan
kamu tata ??” Dengan riangnya dijawab “mama nih aneh lohhh, masa bereskan
kamar disamain dengan masa depan, ga nyambung nih mama”
Anak jaman sekarang selalu punya
jawaban, beda dengan jaman aku seumuran ade dulu, keburu disentil mulut kami
kalo sampai berani nge-jawabin mama atau papa.
Lalu kami sepakat untuk membuat
schedule / jadwal harian mengenai apa yang harus dikerjakan jam per jam, mulai
dari bangun pagi sampai kembali tidur malam, berikut sanksi yang akan dikenakan
jika ada hal yang terlewati, misalnya belum boleh sarapan pagi kalau kamar
belum dirapihkan, belum boleh menyalakan AC dan TV kamar kalau belum tuntas mengerjakan
tugas harian dari sekolah onlinenya.
Minggu pertama dijalani dengan tertatih tatih, 3 hari pertama harus menerima konsekuensi sanksi yang sudah dibuat. Lanjut minggu kedua mulai rewel, “aku kayak anak kecil aja pake jadwal-jadwal segala” . Masuk minggu ketiga aku tawarkan cabut jadwal yang ditempel di dinding supaya tidak seperti anak kecil, tapi aktifitas tetap harus dilakukan sesuai jadwal sudah dibuat, dan langsung disambut “oke” , Minggu keempat dijalani dengan sangat baik, nyaris sempurna, semua aktifitas rutinnya dilakukan, hanya 1 hari kena sanksi karena nonton drama korea sementara tugas sekolah belum diselesaikan.
Puji Tuhan sudah 2 bulan berlalu, dan sekarang masuk bulan ke 3, dari hari ke hari semakin membaik, kebiasaan barunya mulai dilakukan dengan kesadarannya sendiri. Tidak perlu lagi pakai jadwal jam per jam apa yang harus dilakukan, tetapi sekarang si ade bikin sendiri "To Do List" yang akan dan harus harus dikerjakan setiap hari. Sekali dua kali masih perlu diingatkan terutama untuk lemari pakaiannya yang mulai kepenuhan dengan pakaian lama, namun kali ini tanpa harus menaikkan suara 1 oktaf lebih tinggi.
Diperlukan
kedisiplinan, komitmen dan konsistensi penuh untuk melawan segala kenyamanan
dan kemalasan yang sudah beranak pinak dalam diri.
Kita (selalu)
dimungkinkan untuk terjebak dalam kebiasaan yang salah, namun yang namanya
kebenaran tetap harus (mulai) dibiasakan.
Setiap
permulaan adalah tahap yang paling sulit, hari pertama, minggu pertama, atau bulan pertama adalah
masa perjuangan, namun ketika sudah menjalaninya secara bertahap dari
hari ke hari dan konsisten, secara otomatis akan terasa
kurang jika tidak melakukannnya.
Sederhananya,
jika kita menginginkan hidup yang lebih baik dengan kebiasaan baru, kita harus
melakukan hal tersebut terus menerus sampai hal itu menjadi bagian dari hidup
kita yang sulit untuk ditinggalkan.
"Barangsiapa Setia Dalam Perkara-Perkara Kecil, Ia Setia Juga
Dalam Perkara-Perkara Besar. Dan Barangsiapa Tidak Benar Dalam Perkara-Perkara
Kecil, Ia Tidak Benar Juga Dalam Perkara-Perkara Besar” ; Lukas 16 : 10
Komentar
Posting Komentar