STOP, BREATHE & LET IT GO
Pertama kali ikut meditasi tahun 2017, waktu itu ikut Retreat dengan Romo Sudri di Cilember. Seorang Jesuit yang mengajarkan MTO (Meditasi Tanpa Objek). Walaupun seorang Romo, namun tidak ada materi doktrin gereja yang dibahas selama retreat ini. Meditasi ini mengambil inspirasi dari meditasi Vippasana dalam tradisi Buddha, namun proses pengajaran MTO tidak juga mengedepankan doktrin-doktrin Buddhisme.
4 hari dalam hening .. tidak ada televisi, tidak ada radio, tanpa
gadget, tanpa jam tangan, barang-barang berharga pun harus diserahkan ke
panitia, benar-benar terputus kontak dengan dunia luar. Acara dimulai dengan
informasi singkat dari Romo Sudri mengenai peraturan yang harus ditaati semua peseta
dan pembagian selimut dhamma / silk of dhamma kepada setiap peserta. Pembagian
kamar sudah tertempel pada pintu-pintu kamar. 1 kamar berisi 3 - 4 orang, tapi ada juga yang ingin kamar sendiri. Setiap peserta dilarang saling
berbicara/ngobrol, bahkan sesama teman sekamar pun. Tanya jawab hanya dilakukan
pada saat-saat tertentu (dhamma talk) dengan pembimbing meditasi. Saat makan tak
ada percakapan karena proses makan dilakukan tetap dalam keadaan hening (eating
meditation). Setiap akan memulai acara / meditasi, seorang koordinator acara akan berjalan sekeliling area sambil membunyikan bel untuk memanggil setiap peserta agar berkumpul di dhamma hall.
Wajib bangun pagi jam 4.00 WIB untuk melakukan meditasi bersama, kemudian yoga dan dilanjutkan dengan sarapan pagi. Meditasi dilakukan dalam berbagai format, ada meditasi bersama secara terbimbing dalam dhamma hall, meditasi pribadi disekitar tempat menginap, meditasi berjalan, meditasi di alam terbuka / grounding / earthing, forest bathing dan sound healing dengan singing bowl. Kami pun wajib melakukan beberapa pekerjaan (samu meditation), yang dibagi dalam 3 kelompok beranggota 8 – 10 orang dengan tugas harian : Membuat kompos dari sisa makanan, membersihkan area penginapan, berkebun/bercocok tanam di area tempat menginap. Acara ditutup sekitar jam 9 malam, peserta kembali ke kamar masing-masing dalam hening.
Tujuan utama saya memutuskan ikut meditasi ini (pada saat itu) sebagai cara pribadi untuk membuang / membersihkan segala sampah yang menurut saya sudah terlalu banyak dalam tubuh. Kekecewaan, kemarahan, putus asa, depresi, kecemasan dan penyakit hati lainnya. Belajar untuk hening dan berpasrah mengikuti setiap sesi, belajar untuk focus mendengarkan tubuh, merasakan, mengobservasi tanpa menghakimi.
Tahun 2018, kembali berjatah untuk ikut retreat lagi, dan kali ini Rm Sudri banyak bercerita mengenai KEMELEKATAN. Melekat terhadap apa ? Terhadap segalanya .. Tanpa kita sadari kemelekatan dapat menimbulkan penderitaan, mengapa ?? karena kita berharap segalanya permanen, padahal tak ada satupun yang permanen, baik itu kebahagiaan maupun penderitaan.
Mengapa bisa terjadi kemelekatan ? Tidak lain karena ada dan banyaknya KEINGINAN dalam hati. Banyak keinginan tidak masalah, sepanjang kita bisa memenuhi dan tidak menjadikan keinginan yang terpenuhi itu sebagai sesuatu yang mengikat, yang dapat memicu kita ke hal lain seperti keserakahan, kerakusan atau ketakutan akan kehilangan.
Ketika kita berusaha mempertahankan “sesuatu milikku” secara mati-matian disitulah kemelekatan timbul, dan penderitaan dimulai.
Menghilangkan kemelekatan bukan
artinya kita tidak butuh apa-apa dan siapa-siapa, atau bersikap dingin, acuh
tak acuh, tidak berperasaan, atau bersikap biasa saja terhadap sesama dan mahluk
hidup lainnya. Yang TIDAK kita butuhkan adalah sifat dari kemelekatan yang tidak
akan memberikan manfaat, namun justru akan berbahaya.
Dengan adanya ketidak-melekatan
kita terhadap sesuatu hal, kita akan mampu merasakan cinta kasih yang besar
terhadap sesama, mengembangkan sikap welas asih atau keinginan agar orang lain
bebas dari penderitaan.
Sikap welas asih
dapat dilatih dengan bermeditasi/perenungan, yang dalam prakteknya adalah kita
memikirkan orang yang kita cintai atau orang yang menderita atau juga orang
yang telah berbuat jahat/zholim kepada kita, doakan segala yang terbaik bagi
mereka.
Langkah berikutnya adalah
mengembangkan sikap welas asih itu kepada semua orang, membiarkan perasaan itu
tumbuh dan menguasai pikiran setiap kita, sehingga setiap atom dalam diri kita berubah
menjadi kebaikan hati, belas kasih, dan kebajikan. Biarkan hal itu bertahan dan
menjadi bagian dari pikiran kita dan tidak hanya pada saat kita bermeditasi,
tetapi dalam keseharian kita.
Dalam melakukan meditasi atau
perenungan yang dirancang khusus untuk memelihara belas kasih, biasanya hanya
menggunakan satu atau dua frasa, seperti :
“Semoga Anda Berbahagia Dan Terlepas Dari Kesedihan Anda”
"Semoga Anda Menemukan
Kedamaian"
"Semoga Dirimu Terbebas
Dari Penderitaan”
“Semoga Dirimu Beroleh Kegembiraan Dan Ketenteraman”
Ada sebuah contoh sangat bagus yang diberikan oleh guru besar Buddha India, yaitu bahwa hubungan kita dengan orang lain/sesama adalah bagaikan daun-daun yang ditiup angin, jatuh dari pohon di musim gugur. Kadang-kadang daun-daun itu akan terbang mengikuti angin bersama-sama; kadang-kadang mereka terbang terpisah. Itu hanya bagian dari kehidupan. Demikian juga hubungan dengan seseorang – mungkin itu akan bertahan sepanjang hayat kita, tapi mungkin juga tidak.
Komentar
Posting Komentar